Aku bukan Hawa


Gemercik hujan turun mengantarkan hari menuju kegelapan yang mungkin sebentar lagi akan abadi. Ditemani segelas bir dingin dan asupan nikotin yang masuk ke dalam paru mengiringi hidup ini menuju kematian yang akan datang lebih cepat. Rokok masih di tangan, tanpa ku hisap sedikit pun, hanya menyala untuk menghangatkan kegelapan yang semakin cepat datang menantang. Namun, bir ini dalam sekali tegukan saja sudah raib masuk ke dalam ususku yang kotor. Akhirnya setelah tinggal setengah batang, ku hisap rokok ini perlahan yang disertai dengan dahak yang kelua dari rongga.
Suara Tuhan berseru namun aku enggan untuk menjalankan kewajibanku, aku sudah lupa bagaimana caranya bertemu dengan Tuhan semenjak aku kenal dengan bangku sekolah yang mengajarkan aku betapa tidak berartinya Tuhan pada zaman serba plastik dan monoton ini. Ku telanjangi saja badanku, ku lepas semua yang terpakai, yang tersisa hanyalah BH, dan celana dalam warna merah tua yang lusuh menutupi tempat pencari nafkahku ini. Segera bersiap untuk mandi membasuh wajah yang akan dijual kepada mamalia yang haus akan nafsu, dan juga untuk memuaskan hasratku sendiri yang tak puas hanya dengan seorang saja.
Air dari shower yang mengucur membuat tubuhku bugar namun tidak bisa menghilangkan sisi renta dalam diriku ini, tak lupa aku pakai sebuah sabun yang diiklankan oleh semua media untuk membuat senjataku lebih rapat, namun apa buktinya, tak ada yag bisa membuatnya seperti sedia kala. Siapa yang salah?
Tak lupa ku rias wajahku mengikuti apa yang dikatakan cantik oleh media yang banyak berbohong, aku merasa aku cantik walaupun tanpa alat-alat yang hanya bisa dipakai sesaat dan oleh golonganku saja. Persetan dengan warna kulit, rambut panjang terurai, bibir merah mungil yang menggoda, dan juga bulu mata yang panjangnya lebih dari hidung pinokio. Namun, keadaan yang memaksaku untuk perduli dengan yang namanya cantik, kamu mamalia penuh birahi yang memaksaku untuk memakai topeng yang sebenarnya mampu menjadikan aku bintang iklan.
Ku kenakan, namun masih terlihat ada yang kurang. Aku lupa. Aku masih mengenakan cincin pernikahan yang telah lama membuat hatiku hancur dan gelisah. Ya, cincin inilah yang menjadi penyebab hancurnya masa depanku. Ku lepaskan, tak rela memang, namun itu harus menjadi sebuah keharusan. Ku pakai sepasang high heels untuk membuat tubuhku makin lenjang dan tinggi.
Tok .. tok… tok…
Ternyata sudah ada yang berkunjung, padahal ini waktu masih pagi untuk malam yang ditemani rintik hujan, perkiraan aku salah, ternyata itu adalah pengantar makanan yang siap membuat kolesterolku kambuh dan mempercepat umurku. Tak sadar aku melihat dia birahiku pun mulai memuncak, namun aku tidak tega untuk mengajaknya bersenggama, masih kelihatan polos, lugu dan nampaknya dia juga sama dengan aku sedang mencari apa yang aku sembah selama ini. Apa mungkin dia juga menjadikan uang sebagai Tuhan, bagiku Tuhan yang ada bagi kaum Majusi telah mati. Aku telah diarahkan entah oleh siapa, untuk membunuh Tuhan yang dulu aku percayai kebenarannya, dan menggantinya dengan Tuhan baru yang berwujud begitu banyak, bisa jadi uang, televisi, namun bagiku uang adalah Tuhan yang paling utama, karena aku melakukan persenggamaan ini untuk mendapatkan Tuhan.
Aku masih bisa teringat ketika sesosok lelaki yang mengaku suci dan tak pernah berdosa bahwa hukuman bagiku di akhirat kelak adalah neraka. Sebab itu aku pun membunuh Tuhan tersebut dan menggantikannya dengan Tuhan yang dapat memberikanku surga selamanya.

Aku sudah lama duduk di sofa yang sudah renta ini yang tertancap bunyi retakan ketika aku hendak berdiri, waktu sudah semakin larut, aku mulai kecewa ketika tidak ada yang datang padaku. Aku pasrah, tapi nafsu birahiku sedang memuncak, aku hampir kehilangan kendali, alat pemuas pribadi pun tak ada karena sudah ku tukar dengan minuman yang mampu membuatku terbang melayang, alat itu sudah berada di temanku, ingin mengambilnya, namun aku tak mampu. Nafsu ini terus membakar jiwaku hingga tak sadar ada yang mengetuk pintu.
“Anjing, akhirnya yang aku tunggu-tunggu datang juga ternyata”.
“Sebentar,”
Aku lekas membuka pintu, aku yakin itu adalah tamuku, karena di waktu-waktu seperti yang mengetuk pintu hanyalah laki-laki yang ingin memuaskan nafsunya.
Terkejut, paras mukaku merah membara, nafsu yang ada berubah menjadi rasa marah bercampur dengan takut..
“Sedang apa kamu di sini?”
“Kamu juga sedang apa di sini?”
Tak lama kami pun masuk, menutup pintu dan menguncinya. Nampaknya pertengkaran akan segara aku mulai dengan cepatnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku? Aku hanya mencari dan meminta surga yang tak mungkin ku dapat, lalu kamu?”
“Masih bertanya? Setiap lelaki yang datang ke sini pasti ingin memuaskan nafsu mamalianya”
“Bajingan, lalu kau apakan ibuku?”
“Bajingan? Kita memang bajingan, ibumu yang juga istriku juga bajingan. Surga yang kamu cari juga bajingan.”
Ya lelaki tua renta yang dari mulutnya keluar bau nikotin dan arak local ini adalah ayahku, seorang lelaki yang berharap anaknya menjadi perempuan sempurna, yang tak becus mendidik anak. Ruhku bergejolak, antara amarah dan nafsu birahi yang masih meletup-letup.
“Apakah aku harus melayani kamu yang tua renta ini? Binatang macam apa aku ini?”
“Sudahlah lupakan, aku pun tidak mau mengecap sarimu yang tinggal sisa itu, simpan saja buat yang lain”
“Brengsek”
“Sudah aku bilang kita memang brengsek, ini lah akibat dari Tuhan yang telah mati”
“Mau menyalahkan Tuhan? Masih punya Tuhan?”
“Persetan dengan Tuhan, aku masih bisa menikmati makhluk yang mampu memuaskan nafsu binatangku tanpa bantuan Tuhan, aku pikir kita sama-sama telah membunuh Tuhan”
“Ya sudah, aku pasrah saja pada keputusanmu, bagaimanapun kamu adalah raja bagiku ditempat ini”
“Aku pulang, tidak sudi aku harus menikmatimu, aku akan mencari Ibumu, mungkin dia masih bisa memuaskan aku.”
“Baiklah, kalau begitu bilang padanya, aku lebih baik darinya, dan aku bukan hawa sama seperti dia”
Lelaki tua renta itu keluar dengan nampak marah, aku putuskan untuk tidak menerima pengunjung lagi malam itu, aku lebih baik tidur, aku merasa muak. Harus aku akui, kalau aku ini bukan Hawa karena aku tidak meminjam rusuk siapapun, aku mampu berdiri sendiri, aku mampu menikmatinya dengan berbagai macam laki-laki, bahkan aku mampu mengganti Tuhan.
Ku putar saja Stairway to Heaven untuk menemani tidurku ini, mungkin sekarang aku tidak lagi di surga, aku berada di pinggiran neraka yang siap untuk menerka. Berharap nafsu binatangku dapat terkabul lewat mimpi-mimpi yang biasanya indah menghampiri sampai matahari membakar sisa mimpiku. Pejamkan mata, lupakan semua.

No comments: