Malam semakin lelap dan menusuk
Tak terlihat bulan menunjukkan pucatnya
Ku kurangi hidup ini
dengan menghabisi si jernih dalam kantong
tanpa menghiraukan masa depan yang tak tentu
Diantar si jernih dan si hitam pekat
mengkamuflasekan kepahitan tersembunyi
butiran yang bisa menimbulkan luka
Berkencan dengan nyala lampu
bercerita,
membuat badan ini mulai kaku dan terpaku
Gundah gulana
tenang namun beriak
kembali menemukan ritme yang sama
Tak tentu arah yang dituju
sempat memutuskan jalan
Lalui dan nikmati
Kelam Mencekam
Ketika sayap tak mampu lagi terbang
Ketika kaki tak mampu lagi menopang
Namun jalan panjang masih membentang
Harus dilalui penuh halang rintang
Suara merdu menyayat memaki
Memanggil isi hati yang mulai sunyi
Membukakan lembaran keji
Yang setiap hari tak henti menari
Kegelapan mulai menghitam
Tangan semakin kuat menggenggam
Masa depan sulit diterkam
Mimpi yang terpancar mulai kelam
Letupan angin kuat memaki
Menusuk luka di sanubari
Mengeluarkan pedihnya mati
Lepas diri dari Ilahi
Semua berteriak, kamu....
kamu....
itu sampah....
Kotoran yang membusukkan mata
Menghilangkan rasa dan membekukan jiwa
Kematian enggan menjemput
Menjalani hidup pun tak terurut
Hidup carut marut
Dosa menunggu maut
Ketika kaki tak mampu lagi menopang
Namun jalan panjang masih membentang
Harus dilalui penuh halang rintang
Suara merdu menyayat memaki
Memanggil isi hati yang mulai sunyi
Membukakan lembaran keji
Yang setiap hari tak henti menari
Kegelapan mulai menghitam
Tangan semakin kuat menggenggam
Masa depan sulit diterkam
Mimpi yang terpancar mulai kelam
Letupan angin kuat memaki
Menusuk luka di sanubari
Mengeluarkan pedihnya mati
Lepas diri dari Ilahi
Semua berteriak, kamu....
kamu....
itu sampah....
Kotoran yang membusukkan mata
Menghilangkan rasa dan membekukan jiwa
Kematian enggan menjemput
Menjalani hidup pun tak terurut
Hidup carut marut
Dosa menunggu maut
Subscribe to:
Posts (Atom)